FILSAFAT PENDIDIKAN MATEMATIKA
Hirarki dalam Matematika, Belajar,
Kemampuan dan Masyarakat
Oleh :
Nama : Syamsah Fitri
NIM : 8176171034
Kelas : A1 / Pasca Pendidikan Matematika

Dosen
Pengampuh :
Prof.
Dr. Pargaulan Siagian, M.pd
PROGRAM PASCASARJANA
PENDIDIKAN MATEMATIKA
UNIVERSITAS
NEGERI MEDAN
T.A.
2017 / 2018
KATA PENGANTAR
Segala
Puji bagi Allah SWT. Karena atas Rahmat dan Hidayah-Nya saya dapat menyelesaikan makalah ini dengan tapat waktu. Saya memohon maaf apabila kepenulisan
dalam makalah saya masih
jauh dari kata sempurna. Saya mengucapkan terima
kasih kepada Bapak Prof. Dr. Pargaulan Siagian M.Pd selaku
dosen Filsafat Pendidikan Matematika yang memberi arahan dalam mengerjakan makalah yang bejudul Hirarki dalam Matematika, Belajar, Kemampuan dan
Masyarakat.
Saya berharap makalah ini dapat menambah wawasan saya mengenai materi yang diangkat menjadi topik utama dalam makalah
ini dengan judul Hirarki
dalam Matematika, Belajar, Kemampuan dan Masyarakat serta dapat menjadi referensi yang
bermanfaat bagi para pembaca.
Dengan ini saya mempersembahkan makalah ini dengan penuh rasa terima kasih
dan harapan semoga tugas saya bermanfaat bagi penulis maupun pembaca.
Medan, 10 Oktober 2017
Syamsah Fitri
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI ii
BAB I PENDAHULUAN 1
1.1 Latar
belakang 1
1.2 Rumusan
Masalah 2
1.3 Tujuan
Pembahasan 2
BAB II PEMBAHASAN 3
2.1 Hirarki
dalam Matematika 3
2.2 Hirarki dalam belajar matematika 5
2.3 Hirarki dalam Kemampuan Matematika 9
2.4 Hirarki Sosial 13
2.5 Hubungan antar
Matematis, Kemampuan dan Hirarki Sosial 19
BAB III PENUTUP 23
3.1. Kesimpulam 23
3.2 Saran
23
DAFTAR PUSTAKA 23
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Filsafat dan ilmu adalah dua kata yang sering
terkait, baik secara substansial maupun hisfories karena kelahiran ilmu tidak
lepas dari peranan filsafat, sebaliknya perkembangan ilmu memperkuat
keberadapan filsafat. Menurut Lewis
White Beck, filsafat pendidiksn bertujuan
membahas dan mengevaluasi metode-metode pemikiran ilmiah serta mencoba
menemukan nilai dan pentingnya upaya ilmiah sebagai suatu keseluruhan.
Pembahasan filsafat pendidikan sangat penting karena akan mendorong manusia untuk lebih kreatif dan
inovatif. Di dalam makalah ini penulis akan membahasa bab 11 yang berjudul Hirarki dalam Matematika, Belajar,
Kemampuan dan Masyarakat.
Identitas
Buku

Sampul
Buku:
Pengarang
: Paul Ernest
Tahun
terbit : 1991
Penerbit : London: Routledge Falmer
Tebal : xiv + 329 halaman
Untuk itulah penulis mencoba
memaparkan mengenai Hirarki
dalam Matematika, Belajar, Kemampuan dan Masyarakat. sehingga
diharapkan para pembaca dapat memahami pentingnya filsafat ilmu dalam
perkembangan ilmu pengetahuan.
1.2.Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas maka penulis
memaparkan beberapa rumusan masalah untuk makalah ini, yaitu :
1. Apa yang
di maksud dengan hirarki dalam mtematika?
2. Apa yang
di maksud dengan hirarki dalam belajar matematika?
3. Apa yang
di maksud dengan hirarki dalam kemampuan belajar matematika?
4. Apa yang
di maksud dengan hirarki sosial dalam matematika?
5.
Bagaimana hubungan antar
Matematis, Kemampuan dan Hirarki Sosial?
1.3.Tujuan Penulisan Makalah
Penulisan makalah ini berusaha
menjawab rumusan masalah di atas. Untuk itu, tujuan penulisan makalah ini
adalah :
1. Untuk
mengetahui yang di maksud dengan hirarki dalam mtematika
2. Untuk mengetahui
yang di maksud dengan hirarki dalam belajar matematika
3. Untuk
mengetahui yang di maksud dengan hirarki dalam kemampuan belajar matematika?
4. Untuk
mengetahui yang di maksud dengan hirarki sosial dalam matematika?
5.
Untuk mengetahui hubungan antar
Matematis, Kemampuan dan Hirarki Sosial
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Hirarki dalam Matematika, Belajar, Kemampuan dan Masyarakat
a.
Hirarki dalam matematika
Hirarki bisa didefinisikan dengan
keseluruhan struktur. Baik ini merupakan struktur aksiomatik, berdasarkan
aksioma dan aturan interferensi, atau struktur definisional, bisa menjadi bentuk hirarkis resmi
yang menetapkan sistem atau struktur matematika tunggal, yang dihubungkan oleh
hubungan inferensial atau definisional. Hubungan inferensial adalah yang paling
tepat untuk dipertimbangkan, karena menunjukkan hubungan justificatory antara dalil dan rumus
matematika, yang memberikan struktur teori aksiomatik deduktif.
Maka ada kebenaran teori deduktif. Sehingga
hasil dari matematika mendorong kita untuk memahami bahwa matematika dibentuk
oleh teori keserberagaman yang berbeda, dimana hal ini tidak bisa diturunkan
pada sistem tunggal, dan tidak ada dari teori ini yang cukup untuk menangkap
semua kebenaran bahkan dalam domain aplikasi yang terbatas.
Paling tidak dua alternatif pada
fondasi teoritis dalam matematika ada. Pertama, Teori Kategori bisa memberikan
dasar alternatif matematika, dalam tempat teori himpunan (Lawvere, 1966). Klaim
ini belum sepenuhnya dibenarkan,
namun meski demikian ini merupakan tantangan bagi keunikan fondasi teoritik
himpunan.
Kedua, logika intuisionis memberikan
fondasi bagi matematika. Meskipun tidak semua matematika bisa ditunjukkan dalam
kaitannya dengan basis ini, sebagian besar dari program telah direalisasikan
untuk analisis, oleh Bishop
(1967) dan yang
lainnya
Seperti yang sudah kita lihat hirarki bisa didefinisikan dengan cara lain,
khususnya sebagai hirarki istilah dan definisi. Untuk struktur deduktif dari
sebarang teori yang membawa hirarki definisi, dan hampir semua struktur definisional yang ada bagian yang deduktif. Sehingga tidak ada
hirarki yang unik dari definisi. Maka bisa dinyatakan dengan tegas bahwa
matematika tidak memiliki seluruh struktur hirarkis, dan tentunya bukanlah
sesuatu yang unik, bahkan ketika klaim diinterpretasikan dengan baik dan benar.
b.
Matematik merupakan rangkaian komponen pengetahuan diskret
Ada asumsi lebih jauh terkait dengan
sifat dan struktur pengetahuan matematis yang mendapat perhatian pendidikan. Matematika dapat dianalisa dalam
komponen pengetahuan diskret, jumlah (atau sekumpulan lebih) yang tidak
terstruktur dari menunjukkan disiplin. Asumsi ini menunjukkan bahwa dalil matematika sifatnya tidak tergantung makna dan signifikansi.
Karena struktur merupakan salah satu karakteristik
pengetahuan matematika, klaim ini bisa juga berada dalam asumsi yang tidak
dibenarkan dimana ada struktur yang unik pada matematika. Hal ini mungkin
diperlukan sehingga ketika molekul pengetahuan diskret digabungkan kembali,
akan muncul hasil yang tetap dan sebelumnya ditetapkan secara keseluruhan
(badan pengetahuan matematika). Kita telah mengatur asumsi kedua di atas.
Namun, perkiraan bahwa dalil matematika tidak tergantung pada makna dan
signifikansi juga tidak berhasil. Pertama, tanda matematis formal mendapatkan
signifikansinya dari teori aksiomatik atau sistem formal dimana mereka terjadi.
Tanpa konteks ini mereka akan kehilangan beberapa signifikansinya, dan struktur
ditentukan oleh teori akan gagal.
Kedua, ekspresi matematika formal secara
eksplisit mendapat makna semantiknya dari interpretasi atau kelas dari
interpretasi yang dimaksud terkait dengan teori dan bahasa formal. Semantik ini
merupakan bagian standard dari logika formal Sejak Tarski (1936). Sehingga
pemisahan tanda matematika dalam bagian diskret atau yang terisolasi menolak
sebagian besar dari signifikansinya dan semua makna semantiknya. Tanda ini
akhirnya memiliki klaim kecil yang dianggap sebagai komponen molekular dari
pengetahuan matematika.
c.
Implikasi Pendidikan
Kurikulum matematika merupakan entitas
independen, yang tidak perlu menunjukkan disiplin matematika. Sebagian besar
teoretikus kurikulum menolak mengemukakan kasus umum dimana kurikulum
harus menunjukkan pengetahuan dan proses penelitian disiplin subjek
(Stenhoyse, 1975; Schwab, 1975; Hirst dan Peters, 1970).
Studi perubahan kurikulum telah
mendokumentasikan bagaimana perkembangan dalam matematika memberikan
peningkatan melalui tekanan yang
digunakan oleh ahli matematika pada perubahan dalam kurikulum matematika
sekolah yang menunjukkan peningkatan ini
(Cooper, 1985); Howson, 1981). Lebih umum, dalam pendidikan matematika
diterima bahwa isi kurikulum harus menunjukkan sifat disiplin matematika.
Penerimaan ini sifatnya implisit atau eksplisit, seperti dalam Thwaites (1979),
Confrey (1981) dan Robitaille dan Dirks: konstruksi kurikulum matematika (dihasilkan dari) sejumlah faktor yang berjalan dalam badan matematika untuk memilih dan menyusun kembali isi untuk menjadi lebih tepat bagi
kurikulum sekolah. (Robitaille dan Dirks, 1982, hal. 3)
Seminar internasional mengenai
pendidikan matematika secara eksplit mempertimbangkan kemungkinan bahwa
‘matematika nyata’ tidak akan membentuk dasar kurikulum matematika bagi setiap
orang (sebagian besar akan hanya mempelajari ‘matematika yang berguna’) .
Implikasi pendidikan ini memungkinkan
kita untuk mengkritik kurikulum nasional dalam matematika pada dasar
epistimologis. Sehingga kurikulum nasional salah dalam menggambarkan
matematika, berlawanan dengan prinsip kurikulum yang diterima. Hal ini
mewujudkan hirarki dimana ini tidak dibenarkan dalam istilah sifat matematika,
serta menunjukkan pengetahuan matematika sebagai rangkaian fakta dan
keterampilan diskret. Pembelaan
yang mungkin muncul adalah bahwa kurikulum matematika bisa gagal menunjukkan
disiplin matematika guna memenuhi tujuan psikologis, seperti menunjukkan
hirarki psikologis matematika.
2.2.
Hirarki
dalam Belajar Matematika
a.
Pandangan bahwa Belajar Matematika Sifatnya Hirarkis
Seringkali diklaim bahwa belajar
matematika sifatnya hirarkis, berarti bahwa ada item pengetahuan dan
keterampilan yang memerlukan prasyarat untuk belajar item pengetahuan
matematika. Pandangan semacam ini diwujudkan dalam teori Piaget tentang
perkembangan intelektual. Piaget menyatakan rangkaian empat tahap (sensori
motor, pre-operasional, operasional konkrit, operasi formal) yang membentuk
hirarki perkembangan. Pelajar harus menguasai operasi pada satu tahap sebelum
dia siap berpikir dan menjalankan level selanjutnya. Sehingga piaget
menciptakan istilah ‘decalage’ untuk menggambarkan kompetensi hirarki yang
melampaui (transgressing) Psikolog
lain yang menyatakan bahwa belajar sifatnya hirarkis adalah Gagne. Dia
mengemukakan bahwa topik hanya bisa dipelajari
ketika hirarki prasyaratnya telah dipelajari.
(Gagne, 1977, hal 166-7) Gagne menyatakan bahwa dalam
pengujian empirik, tidak ada dari topiknya, hirarki muncul lebih dari 3 persen
dari hal yang berlawanan. Sehingga
dua psikolog representatif yang berpengaruh dari tradisi perkembangan dan
behaviorist telah membuat penelitian spesial tentang matematika. Dalam
pendidikan matematika, ada penelitian empirik yang mempunyai pokok isi untuk
menemukan hirarki belajar dalam matematika..
Pandangan hirarkis dari belajar
matematika memiliki ekspresi yang paling baik dalam kurikulum nasional dalam
matematika, seperti yang sudah kita lihat (Departemen Pendidikan dan ilmu
pengetahuan, 1989). Ini merupakan spesifikasi hirarkis yang pasti dari
kurikulum matematika pada level sepuluh, menetapkan dasar yang diperlukan untuk
studi matematika dari semua anak (dalam English dan Welsh state school) dari
usia 5 hingga 16 tahun.
b.
Kritik
Pandangan Hirarkis Belajar Matematika
Pandangan hirarkis belajar matematika
berada dalam dua asumsi. Pertama, selama belajar, konsep dan keterampilan
diperlukan. Sehingga menurut beberapa pengalaman belajar sebelumnya seorang
pelajar akan kekurangan konsep dan keterampilan, dan setelah pengalaman belajar
yang tepat dan berhasil, pelajar akan memiliki atau mendapat konsep dan
keterampilan. Kedua, kemahiran konsep dan keterampilan matematika tergantung
pada kepemilikan konsep dan keterampilan sebelumnya. Hubungan ketergantungan
ini berada diantara konsep dan keterampilan yang memberikan struktur pada
hirarki belajar. Akibatnya,
berdasarkan pandangan ini,
pengetahuan matematika diatur secara unik dalam jumlah level diskret. Tiap dari
dua asumsi ini sifatnya problematik dan terbuka pada kritik.
c.
Hubungan
ketergantungan hirarkis antar konsep
Satu asumsi bahwa ada hubungan
hirarkis yang pasti dari ketergantungan antara konsep dan keterampilan, yang
menghasilkan hirarki yang unik dari konsep dan keterampilan.
Resnick dan Ford (1984)
menyimpulkan peninjauan penelitian mereka pada hirarki belajar dengan peringatan
bahwa mereka harus digunakan dengan perhatian, dan komentar Gagne tahun 1968
yang tetap valid: hirarki belajar…tidak bisa mewakili rute unik atau yang
paling efisien untuk tiap pelajar. (Hal 57).
Pandangan kognitif ilmuan dan
psikolog yang banyak digunakan adalah organisasi (dan sifat) pengetahuan
pelajar adalah idiosinkratik, sehingga ini tidak bisa digolongkan pada hirarki
tetap tunggal. Sehingga konsep pelajar atau struktur konseptual telah diistilahkan
‘konsepsi alternatif’ atau ‘kerangka alternatif’ (Easley, 1984; Gilbert dan Watts,
1983; Pfundt dan Duit, 1988) Ketika perbedaan ini berada dalam skala
mikro, maka pikiran bahwa pemahaman pelajar melampaui topik matematika bisa
dipenuhi dalam semua hirarki matematika juga ditolak (Ruthven, 1986, 1987;
Noss, 1989)
d.
Konsep sebagai entitas
yang diperlukan
Istilah konsep memiliki dua makna
psikologis. Pengertian sempitnya adalah
atribut atau rangkaian objek. Hal ini bisa didefinisikan secara intensif,
dengan mendefinisikan sifat atau secara ekstensif, dalam kaitannya dengan
keanggotaan rangkaian. Konsep dalam pengertian ini memungkinkan adanya
diskriminasi antara objek tersebut yang berada di bawahnya, dan yang tidak.
Konsep dalam pengertian ini sederhana, dan merupakan objek mental yang bersatu.
Pengertian yang lebih luas dari konsep adalah struktur konseptual, terdiri dari
sejumlah konsep (dalam pengertian sempit) bersama dengan hubungan antara mereka (Bell, 1983). Struktur konseptual
juga disebut skema atau konsep dengan interioritas (Skemp, 1979). Hampir semua
hal tersebut merujuk pada konsep dalam psikologi matematis, seperti konsep nilai tempat, atau bahkan
konsep sepuluh, memiliki pengertian yang lebih luas dari struktur konseptual,
karena komponen cabang bisa dibedakan dalam tiap konsep.
Dengan adanya perbedaan ini, tiga
keberatan utama bisa muncul melawan asumsi dimana konsep semuanya diperoleh
seketika, atau dimiliki atau kurang bagi pelajar.
Pertama,
sebagian besar konsep faktanya menggabungkan struktur konseptual, merupakan
bukti bahwa konstruksi mereka harus merupakan proses pertumbuhan yang luas.
Dalam pandangan interkoneksi yang kompleks antara konsep, kemahiran konsep bisa bertahan lama.
Kedua,
kepemilikan konsep pelajar hanya bisa diwujudkan secara langsung, melalui
penggunaannya, karena struktur mental merupakan entitas teoritis yang tidak
bisa secara langsung diamati. Namun penggunaan konsep oleh pelajar harus berada dalam beberapa
konteks, sehingga konsep dihubungkan dengan konteks penggunaan. Untuk meringkas
‘esensi’ konsep dari konteks penggunaan, dan klaim bahwa esensi ini menunjukkan
konsep bersifat presumptive. Sehingga pemahaman konsep pelajar berkembang
sesuai tingkat konteks penggunaan yang dikuasai, menggali gagasan dimana
kemahiran merupakan proses.
Ketiga,
gagasan bahwa konsep secara unik merupakan entitas objektif yang bisa dispesifikasi sifatnya
terbuka bagi kritik filosofis dan psikologis, seperti ditunjukkan dalam Bab 4
dan 5. Untuk mengklaim bahwa individu berbeda memiliki konsep yang sama, tidak
dikatakan bahwa beberapa entitas objektif yang sama, walaupun abstrak, dimiliki
oleh keduanya.
Vergnaud menuliskan: Hirarki kompetensi matematika tidak mengikuti urutan total organisasi,
seperti teori dugaan ketidakberuntungan tahap-tahap, namun lebih satu berurutan
parsial: situasi dan masalah yang dikuasai siswa secara progresif, prosedur dan
representasi simbolik yang mereka gunakan, dari usia 2 hingga 3 hingga dewasa
dan pelatihan profesional, lebih baik dijelaskan oleh skema urutan parsial
dimana seseorang menemukan kompetensi yang tidak mengandalkan satu sama lain,
meskipun mereka semua memerlukan serangkaian kompetensi yang lebih primitif dan
mungkin semua dibutuhkan untuk rangkaian
yang lebih kompleks Vergnaud (1983, hal 4)
e.
Konsekuensi
untuk Kurikulum Nasional
dalam
Matematika
Pembahasan ini memiliki konsekuensi
untuk kerangka kurikulum hirarkis, dan juga untuk Kurikulum Nasional dalam
matematika (Departemen Pendidikan dan Ilmu pengetahuan). Paling penting, tidak ada
justifikasi psikologis untuk memaksakan struktur hirarkis yang unik dan pasti
pada kurikulum matematika bagi semua anak dari usia 5 hingga 16.
Ketika detail isi dari kurikulum
nasional dalam bidang Matematika dibawa dalam diskusi, maka mungkin akan ada
pembenaran yang bisa diantisipasi. Yaitu, meskipun kurikulum tidak memiliki
keharusan epistimologis atau psikologis, namun mungkin mencerminkan pengetahuan
yang ada mengenai prestasi anak secara keseluruhan dalam bidang matematika.
Kurikulum nasional dalam bidang
matematika telah mengabaikan isu semacam ini, dan tidak mencerminkan
pengetahuan yang ada. Keohane dan Hart (1989) dan Hart (1989) menunjukkan bahwa
level tunggal dari kurikulum yang terencana termasuk isi dimana ada banyak
fasilitas yang berbeda-beda. Level empat termasuk dalam program studi untuk
anak berusia 8-16 tahun. Dalam studi terhadap sampel yang besar dari anak
berusia 11 tahun
(Hart, 1981), ada tingkat fasilitas yang tersebar dari 2 persen hingga 95
persen dalam item yang sesuai dengan level pernyataan pencapaian empat.
Hal ini menggambarkan fakta bahwa
tidak ada usaha yang dilakukan untuk mengembangkan kurikulum nasional dalam
basis penelitian, semuanya dibiarkan berjalan secara empirik. Bahkan hal ini
dilakukan secara bersama oleh sebuah komite, yang bekerja sebagai tiga sub
komite, dalam beberapa minggu. Secara keseluruhan, hal ini menunjukkan
kurangnya validitas epistimologis atau psikologis, dalam asumsi hirakisnya.
Dengan status yang ada, dan sumber daya
yang tersedia, akan semakin lalai terhadap originator (pemerintah).
2.3.
Hirarki
Kemampuan Matematis
a.
Pandangan Hirarakis Kemampuan Matematis
Intelgensi umum bisa diartikan
sebagai kekuatan mental yang dibawa sejak lahir yang sedikit berubah dalam
tingkatannya karena lingkungan meskipun perwujudan dan arahnya ditentukan oleh
pengalaman. (Tansley dan
Gulliford, 1960, hal. 24)
Meskipun tersebar luas, pandangan ini
tidak disetujui oleh semua psikolog modern (Pigeon, 1977). Namun, karena
kemampuan matematika telah diidentifikasi sebagai faktor utama dari intelegensi
umum (Wrigley, 1958), mungkin hal ini
juga berkontribusi pada
persepsi bahwa kemampuan matematika dari seseorang sifatnya tetap dan kekal.
Dalam analisis yang tajam Ruthven (1987) menyatakan bahwa persepsi ini
sudah menyebar luas, dan umumnya
dipandang oleh guru dan lainnya sebagai penyebab utama adanya level pencapaian
yang berbeda dalam bidang matematika. Dia menggunakan istilah “ability
stereotyping” untuk kecenderungan guru yang mempunyai persesi stabil akan
kemampuan siswanya dengan harapan akan pencapaian/prestasi mereka, meskipun
dalam menghadapi bukti yang berlawanan.
Ada “perbedaan tujuh tahun” dalam
mencapai pemahaman nilai tempat yang cukup untuk menuliskan angka yang 1 lebih
dari 6399. Dengan hal ini maksud kita meskipun anak rata-rata mengerjakan tugas
ini pada usia 11 bukan usia 10 tahun, ada beberapa anak berusia 14 tahun yang
tidak bisa melakukannya dan beberapa usia 7 tahun yang bisa. (Cockroft,
1982, hal 100)
Dalam hal anak yang pencapaian
rendahnya dalam bidang matematika dikaitkan dengan kemampuan umum yang rendah, maka pelajaran matematika
perlu secara khusus dirancang guna membentuk jaringan sederhana yang dikaitkan
dengan ide dan aplikasi mereka. (Cockroft, 1982 hal 98)
Penekanan aktivitas repetitive, dalam
belajar instrumental, dan dalam perhitungan-menunjukkan persepsi stereotip dari
kemampuan kognitif siswa yang kurang berhasil dan sasaran kurikulum yang tepat
bagi mereka, baik sebagai pelajar maupun sebagai anggota masyarakat. (Ruthven, 1987, hal 250)
b.
Kritik
terhadap Pandangan Hirarkis Kemampuan
Matematis
Ruthven (1987) memberikan krtik yang
tajam atas stereotip kemampuan, dan berpendapat sebaliknya, dimana konsistensi
pencapaian matematika siswa kurang dari yang diperkirakan, berbeda-beda dalam
topik dan waktunya. Di sisi lain, harapan guru dan stereotip menjadi pemenuhan
diri dan pembedaan kurikulum dalam matematika yang bisa membuat permintaan
kognitif yang tinggi dan rendah dari pencapaian siswa yang tinggi dan rendah,
yang memperburuk perbedaan yang ada. Kritik ini bisa didukung oleh dua
pandangan teoritis: sosiologis dan psikologis.
Argumen sosiologis yang menolak
pandangan hirarakis tentang kemampuan dalam matematika berasal dari teorilabelling. Kaitan
yang kuat antara latar belakang sosial dan kinerja pendidikan dari
hampir semua jenis merupakan yang paling lama dibangun dan merupakan hasil yang
paling didukung dalam penelitian sosial dan pendidikan (Departemen pendidikan
dan Ilmu Pengetahuan, 1988b). Segi
utama dari pemberian label seseorang sebagai orang yang mencapai kemampuan
matematika rendah, misalnya seringnya pemenuhan diri. Sehingga kemampuan yang
tersebar luas dalam pengajaran matematika, meskipun hanya terkait dengan ukuran
pencapaian, telah memiliki pengaruh pemberian label dengan dasar kemampuan, dan
akhirnya akan mempengaruhi prestasi dalam bidang matematika, dan menjadi
pemenuhan diri (Meighan, 1986; Ruthven, 1987)
Kontributor yang berkembang dalam
tradisi ini adalah Vygotsky (1962), yang menyatakan bahwa bahasa dan pemikiran
berkembang bersama-sama, dan bahwa kemampuan pelajar bisa diperluas, melalui
interaksi sosial, melampaui “zone of proximal development”. Interaksi
perkembangan personal dan konteks sosial serta sasaran melalui aktivitas
menjadi dasar dariActivity Theory
(teori aktivitas) oleh Leont’ev (1978) dan lainnya.
Kemampuan bukanlah takdir namun ini
dibentuk dan dikembangkan melalui instruksi, praktek dan penguasaan aktivitas.
Sehingga kita membicarakan keharusan untuk membentuk, mengembangkan, mengolah
dan meningkakan kemampuan anak, dan kita tidak bisa memprediksi secara pasti
seberapa jauh perkembangan ini bisa terjadi. (Krutetskii, 1976, hal 4)
Diakui bahwa level kognitif respon
siswa dalam matematika ditentukan tidak hanya oleh kemampuan siswa, namun juga
keterampilan dimana guru mampu melibatkan siswanya dalam aktivitas matematika.
Hal ini memerlukan perkembangan pendekatan ilmu pendidikan dalam matematika
yang sifatnya sensitif dan berkaitan dengan sasaran serta budaya siswa. Siswa
yang diberi label “kurang mampu dalam matematika” bisa secara cepat
meningkatkan level kinerjanya ketika mereka terlibat secara sosial dan budaya
dalam aktivitas terkait matematika (Mellin-Olsen, 1987).
c.
Pandangan Hirarkis dari
Kemampuan dalam Kurikulum
Nasional
Pandangan hirakis mengenai kemampuan
matematika merupakan bukti dalam publikasi yang berkaitan dengan kurikulum
nasional. Saya meminta siswa untuk bekerja berkelompok (termasuk matematika)
untuk merekomendasikan target pengetahuan, keterampilan dan pemahaman dimana
siswa dari tingkat kemampuan yang berbeda harus secara normal diperkirakan
mencapai poin usia empat; namun sejauh mungkin menghindari pembentukan target
yang secara kualitatif berbeda-dalam kaitannya dengan wilayah pengetahuan, keterampilan atau pemahaman-bagi anak dari kemampuan
yang berbeda (Departemen pendidikan dan Ilmu
pengetahuan, 1988b, Appendix B)
Selanjutnya, kurikulum nasional dalam
matematika menghasilkan batasan pengalaman kurikulum bagi siswa dengan
pencapaian rendah dalam matematika. Seperti yang ditunjukkan oleh kerangka
kurikulum dan penilaian untuk kurikulum nasional (Gambar 11.1). hasil yang
diterima adalah kurikulum tunggal dalam matematika untuk semua siswa, mereka
dengan “kemampuan rendah” hingga yang lebih rendah, memiliki level yang lebih sederhana.

Hasil dari asumsi ini dalam kurikulum
nasional dalam bidang matematika kemungkinan akan memperburuk dan
melebihi-lebihkan perbedaan individu dalam kinerja. Seperti yang sudah kita
lihat, hal ini hampir pasti menjadi pemenuhan diri, penolakan sukses dalam
matematika untuk sejumlah besar siswa sekolah. Stereotip kemampuan yang dibangun dalam kurikulum
nasional bidang matematika mengasumsikan bahwa setiap anak bisa ditempatkan
dalam posisi “hirarki
kemampuan matematika, dan beberapa akan menggantikan posisi selama tahun
sekolah. Akibatnya, kelas pekerja, anak perempuan dan anak berkulit gelap
kemungkinan besar akan ditempatkan dalam kelas yang lebih rendah dalam hiraki,
sesuai dengan harapan stereotip. Ini adalah segi anti- egalitarian lain dari
kurikulum nasional, yang akan menentukan “tingkatan sosial” yang pasti dan
hirarkis dari pencapaian siswa.
2.4.
Hirarki Sosial
a.
Akar-akar dari Hirarki Sosial
Hirarki sosial memiliki sejarah yang
panjang, kembali pada Hebrew dan Yunani kuno. Dalam Hebrew Old Testment sebuah
hirarki implisit menempatkan Tuhan ditempat palig atas, diikuti oleh malaikat,
lalu nabi di bumi seperti musa, diikuti oleh kepala suku, manusia lalu
anak-anak dan wanita. Di bawah mereka adalah hantu dan akhirnya Lucifer atau
Satan dirinya sendiri. Hirarki semacam ini secara linear mengurutkan manusia,
dan memperluas urutan tersebut baik ke atas maupun ke bawah batas atau “poin
ideal”, analog bagi geometri proyektif. Nilai sangat dihubungkan dengan
hirarki, semakin tinggi, semakin baik, dengan yang paling ekstrim dikaitkan
dengan tuhan dan setan. Nilai ini memiliki fungsi pembenaran, berfungsi untuk
mengesahkan praktek otoritas dan kekuatan oleh superior dalam nferior pada
hirarki. Hak ketuhanan raja merupakan contoh dari justifikasi kekuatan ini.
Sumber penting lainnya dari tradisi
ini adalah divisi manusia dalam tiga jenis bertingkat, yang diisitilahkan
dengan emas, perak dan perunggu (Plato, 1941). Namun yang lebih penting adalah
dampak yang dirasakan dalam nilai dan budaya terkait. Menurut Douglas (1966),
kelompok sosial memiliki batasan “kelompok”, membedakan anggota dari luar, dan
batasan jaringan, membedakan sektor berbeda atau strata dalam kelompok. Dalam
ancaman, menurut Douglas, kelompok menjadi fokus pada kemurnian dalam
budayanya, dan dengan kelompok yang kuat dan batasan jaringan. Dalam pandangan
ini, kemurnian dikaitakan dengn budaya kelas dominan, menjadi intensif seperti ketegasan
definisi batasan, termasuk gradasi internal dalam hirarki.
b.
Pendidikan dan Reproduksi Hirarki Sosial
Mungkin teoretikus paling berpengaruh
dalam struktur masyarakat adalah Karl Marx (1967). Dia berpendapat bahwa
kondisi material dan hubungan produksi mempunyai kekuatan penentu atas struktur
dan hubungan dalam masyarakat. Khususnya, masyarakat memiliki dasar ekonomi dan
infrastruktur, dimana dalam “contoh terakhir” menentukan dua level
superstrukturnya, hukum dan negara bagian dan ideologi terkait. Negara bagian,
melalui “aparatur negara yang bersifat menekan” (kebijakan, penjara, tentara,
dan lain sebagainya) bertahan dan mereproduksi produksi industrial dalam modal
dan kelas dominan.
Ada pandangan yang “kuat” bahwa
kondisi sosial sangat determinatif sifatnya, dan bahwa manusia dipenjarakan
tanpa kunci dari teori Marx yang digunakan untuk menembus kesadaran dan tekanan
yang salah. Ada juga posisi determinist yang lebih lembut, dimana kemanusiaan
mampu memberikan reaksi, dan dimanapun mampu menciptakan perubahan sosial
(Simon, 1976). Pebedaan yang bisa dibedakan digambarkan oleh Giroux (1983)
antara tradisi “strukturalis” dan “kulturalist’ dalam teori neo-Marxist, yang
menekankan pentingnya struktur sosial dan ekonomi, atau budaya dan hubungannya dengan
agen manusia.
c.
Determinisme Keras
Teoretikus modern yang sangat
berpengaruh dalam tradisi ini adalah Althusser (1971). Dia berpendapat bahwa
sebagai tambahan pada “aparaturnegara yang menindas” reproduksi sosial
tergantung pada “aparatur negara ideologis”, yang meliputi pendidikan, agama, hormat
pada hukum, politik, dan budaya, dan bahwa tidak ada kelas yang bisa menjaga
kekuasaan tanpa memperluas hegemoni atau dominasi budaya atas area tertentu.
Pendidikan merupakan “aparatur negara ideologis” paling kuat dalam mereproduksi
hubungan, yang menanamkan penerimaan tenaga kerja dan kondisi kehidupan massa.
Pendidikan mempersiapkan siswa untuk menjadi pekerja melalui penyesuaian
antara hubungan produksi sosial dan
hubungan pendidikan sosial. Seperti layaknya divisi tenaga kerja dalam
perusahaan kapitalis, sistem pendidikan menilai hirarki otoritas dan kontrol
dengan baik dimana kompetisi bukan kooperasi mengatur hubungan antara partisipa urutan hirarkis dari sistem sekolah
disesuaikan dengan persiapan siswa untuk posisi masa depan mereka dalam hirarki
produksi, membatasi perkembangan kapasitas yang melibatkan latihan timbal balik
dan partisipasi demokratik dan memperkuat ketidaksamaan sosial dengan
mengesahkan tugas siswa pada tempat yang tidak sama dalam hirarki sosial. (Gintis dan Bowles, 1980, hal 52-53)
Sehebat apapun argumen ini, mereka
dipengaruhi dua kesalahan utama. Pertama, sifatnya terlalu deterministik dalam
membelenggu pendidikan pada kondisi produksi. Dalam hal ini, mereka tidak
membiarkan adanya eksploitasi kekuatan berlawanan dalam kerja sistem, serta
lembaga manusia atau resistansi didalamnya (Giroux, 1983). Kedua, khususnya
dalam kasus Bowles dan Gintis (1976), mereka menolak sifat pengetahuan, yang
sudah kita lihat sebelumnya, berkaitan dengan ideologi dan kelas, dan tidak
bisa diabaikan.
d.
Determnisme Lembut
Determinisme struktural Gramski (1971)
berpendapat bahwa dominasi masyarakat oleh satu kelas memerlukan hegemoni
budaya. Ini merupakan dominasi budaya dengan pembenaran satu kelas
membingungkan serta memaksakan kekuasaan dan prestisenya hegemoni seperti ini
memenuhi “pengertian umum” dari massa, dan karenanya mengamankan izin dan
persekongkolan yang tidak diketahui oleh mereka.
Giroux (1983) mengakui sifat kompleks
dari budaya. Dia menyatakan bahwa dalam
budaya sekolah ada perlawanan yang lebih dari skedar respon pada kurikulum
authoritarian, dan mencerminkan agenda alternatif. Dia berpendapat berdampingan
dengan Freire dan pendidik publik lainnya dimana melalui pendidikan kritis,
siswa bisa dibebaskan dari kekuatan reproduktif pada kerja di sekolah. Secara keseluruhan, menurut pengelompokan kedua ini,
kekuatan yang cenderung mereproduksi struktur hirarkis dari masyarakat diakui,
seperti pentingnya budaya, ideologi dan pengetahuan
Cooper berpendapat bahwa hegemoni
sekolah mempraktekkan kekuasaan negatif atas guru sekolah yang utama yang
mengikat mereka pada otoritas tradisional dan pendekatan rutin pada matematika,
dan pada kurikula yang berbeda yang berfungsi untuk menciptakan ulang hirarki
sosial. Elemen-elemen dari kebenaran lingkaran penjelasan ini, dan memberikan
pandangan yang berharga seperti bagaimana tekanan budaya mengikuti rantai
kekuasaan dalam hirarki sekolah. Namun demikian, hal ini terlalu sederhana dalam tingkat
keyakinan dan ideologi guru dan kelompok dengan tekanan sosial.
(Noss, 1989, hal 1) Dia berpendapat bahwa ada kontradiksi
dalam sistem yang memungkinkannya untuk berfungsi untuk tujuan pendidikan.
Secara khusus, prioritas rendah disesuaikan dengan isi matematika, dalam
pandangannya hal ini bisa dieksploitasi guna memperkuat pendidikan demokratis.
(Meskipun dalam Noss, 1989a, disarankan bahwa kurikulum kemampuan dasar dalam
matematika untuk memberikan keterampilan tenaga kerja mengenai eksploitasi
keuangan.)
Mellin-Olsen (1987) dia berpendapat bahwa memperkuat
pendidikan matematika harus memahami kesempatan ini: pendidikan matematika yang
penting harus memberikan alat untuk berpikir bagi para pelajar untuk terlibat
dalam aktivitas yang menantang ideologi implisit dari sekolah.
Secara keseluruhan, ada dukungan yang
luas untuk pernyataan bahwa pendidikan membantu mereproduksi struktur
masyarakat hirarkis, berfungsi dalam masalah kekayaan dan privilege. Namun,
pernyataan ini perlu dipahami agar tahu kompleksitas hubungan dalam masyarakat,
dan yang mengubah karakter deterministik dari bentukan asli.
Dalam hal lingkungan sosial massa,
pelatih industrial secara langsung bersifat reproduktif. Karena itu, pelatihan
sosial massa melalui matematika merupakan bagian persiapan untuk kehidupan
tenaga kerja yang patuh. Latihan, hafalan, praktek, demarkasi dualistik antara
yang benar dan yang salah, serta otoritas hirarkis yang tegas dari guru akan
membantu menanamkan perkiraan dan nilai yang tepat untuk mendisiplinkan pekerja
masa depan untuk peran dalam masyarakat, sedangkan strata yang lebih tinggi
dari masyarakat masa depan tidak begitu diatur. Sasaran inti dari kelompok ini
diperoleh dari banyak kelompok yang lebih baik dan ideologinya melibatkan
penjagaan kelompok sosial asli mereka dalam tempat mereka.
e.
Humanist
Lama
Humanist lama fokus pada perkembangan
kemampuan serta bakat matematika dan penanaman nilai matematika murni. Hal ini
mempermudah pemeliharaan dan reproduksi badan ahli matematika, yang menunjukkan
porsi profesional, elit kelas menengah, dengan budaya kelas menengah yang murni. Hal ini bisa dilihat
dari divisi antara kerja dengan tangan dan dengan otak, dan budayaconcomittent
serta pembedaan kelas (Restivo, 1985). Kelompok ini mempunyai tradisi yang
lebih kuat atas isi kurikulum matematika, menjadikannya bergerak dari atas ke
bawah (top down) melayani kepentingan kelompok bukan “dari bawah ke atas”
melayani kepentingan semua.
Douglas (1966) telah berpendapat
secara umum bahwa
kemurnian berfungsi untuk mempertahankan batas kelompok dalam hal ini, dengan
dasar kerja antropologis yang luas. Tujuan dan ideologi yang paling murni dari
kelompok ini sesuai dengan pola ini. Pelatih industrial yang ditujukan bagi
pendidikan matematika bukanlah yang paling murni, dan juga berfungsi untuk
menjaga batas kelompok disekitar masa, dan karenanya mereka memiliki batas
kelompok sendiri.
1.
Pragmatists
teknologis
Pragmatis teknologis tidak begitu
memperhatikan penjagaan batas kelas, dan karenanya tidak begitu reproduktif.
Masyarakat dipandang sebagai dasar pada kekayaan dan kemajuan, dengan mengikuti
inovasi dan kemajuan teknologi. Gerakan sosial dalam dasar pencapaian teknologi
merupakan bagian dari pandangan ini, karena industri dan sektor lainnya terus
meluas dan memerlukan karyawan yang terlatih dalam bidang teknologi. Namun,
stratifikasi sosial dengan dasar kelas yang ada tidak dipertanyakan, dan
akibatnya berbagai faktor dan perkiraan berfungsi untuk mereproduksi divisi dan
stratifikasi sosial.
2.
Pendidik
progresif
Pendidik progresif ditujukan untuk
matematika fokus pada perwujudan dan pemenuhan manusia melalui matematika
sebagai arti dari ekspresi diri dan pengembangan personal. Penekanan dari
pandangan ini sangatlah individualistik. Sedangkan hal ini diarahkan untuk
kemajuan individu dalam sejumlah cara, tidak menempatkan mereka dalam matriks
sosial, serta tidak mengetahui konflik pada kerja dalam masyarakat yang
menggali efficacy dari pendidikan yang progresif. Faktor seperti sumber daya
sekolah dan guru yang tidak sama memberikan stereotip pada siswa tidak
menantang. Secara sosial, pendidik progresif memperhatikan masalah perbaikan kondisi individu, bukan pada
perubahan sosial untuk memberikan kondisi emansipasi.
Hanya satu dari dua pandangan
meritokratik ini yang memiliki ideologi paling murni. Ini merupakan pandangan pendidik
progresif, yang menekankan kreativitas dan berpusat pada anak, berlawanan
dengan kegunaan. Romantisisme dan fokus pada maslah murni dari anak-anak,
memberikan kelompok yang mndefinisikan ideologi, melindungi posisi kelas
menengah dari pendidik profesional. Hal ini juga berfungsi untuk menaikkan
pendidik progresif dalam peran pengasuhan yang mempunyai hak istimewa dan
hubungannya dengan anak dan secara analog dalam masyarakat, sebagai profesional
kelas menengah. Sehingga kemurnian dari ideologi ini bisa dilihat, Douglas
untuk mengamankan batas dan minat kelompok.
f.
Pendidik publik
Pendidik publik fokus pada penguatan
pelajar, melalui matematika, menjadi
otonom, warga negara penting dalam masyarakat demokratis. Kurikulum bagi
pendidik matematika publik ditujukan untuk menjadi emancipatory melalui integrasi
guru dan diskusi
publik tentang matematika dalam konteks sosial dan
politiknya, melalui kebebasan siswa untuk bertanya dan menantang asumsi tentang
matematika, masyarakat, dan tempat mereka, serta penguatan mereka melalui
matematika pada pemahaman dan kontrol yang lebih baik dari situasi hidup
mereka. Ada perhatian terhadap
alokasi sumber daya yang tidak sama dan kesempatan kehidupan dalam pendidikan,
dan perhatian pada perlawanan rasisme, seksisme
dan rintangan lain pada kesempatan yang sama.
Dari kelima ideologi, hanya ini saja yang merupakan pandangan perubahan sosial,
mengakui ketidakadilan dari masyarakat kita yang terstratifikasi dan hirakis,
dan berusaha menghancurkan siklus dengan mereproduksi atau menciptakan ulang
melalui pendidikan.
2.5.
Hubungan antar
Matematis, Kemampuan dan Hirarki Sosial
Komponen dari tiap kelompok ideologi
bekerja bersama-sama untuk memenuhi tujuan sosial dari kelompok, dan bahwa
hirarki memainkan bagian sentral dalam proses ini. Secara khusus, ada
penyesuaian yang longgar antara struktur matematika, kemampuan dan masyarakat
dalam tiap ideologi. Dalam kaitannya dengan lima ideologi, tiga kelompok
longgar bisa dibedakan.
1.
Ideologi
hirarkis yang keras
Dua dari ideologi, pelatihan
industrial dan humanist lama, sifatnya kuat dalam reproduksi. Ini memenuhi
kepentingan untuk mereproduksi struktur masyarakat hirarkis. Pelatihan
keterampilan dasar ditujukan untuk menghasilkan pekerja yang tidak bergerak, sedangkan
studi matematika yang lebih tinggi ditujukan untuk kelas menengah masa datang.
Dalam tiap ideologi, teori matematika yang keras diterjemahkan dalam kurikulum
matematika hirarkis yang kuat; hal ini dikaitkan dengan pandangan hirarkis atas
kemampuan yang tetap dalam bidang matematika, juga dengan pandangan masyarakat
hirarkis yang kuat, kelas dan pekerja.
Dalam dua pandangan tersebut, ada
penyesuaian antara level hirarki: pengetahuan matematika praktikal level rendah
dianggap sebagai kurikulum yang teapt untuk siswa yang dianggap memiliki
kemampuan dan kecerdasan matematis yang
lebih rendah, yang dipersiapkan untuk level
pekerjaan yang lebih rendah dan strata dalam hirarki masyarakat.
Matematika teoritis level yang lebih tinggi dianggap kurikulum tepat untuk
siswa ‘kemampuan matematis yang lebih tinggi’ yang diharapkan untuk mendapat
level pekerjaan yang lebih tinggi dan posisi sosial, mungkin dalam profesi. Hal
ini diakomodir dengan mengidentifikasi ideologi pelatih industrial, termasuk
elemen pedagogical, kebanyakan dengan trak yang lebih rendah. Hal ini dibawa
dalam training sosial dan aspek instrumental dari pedagogi (Mellin-Olsen,
1981).
Ideologi humanist lama diidentifkasi
lebih dengan trak yang lebih tinggi, dengan fokusnya pada teori matematika
murni, dan hubungannya menekankan pda pedagogi. Spesialisasi ini memiliki
substnasi, untuk pelatih industrial yang senang melimpahkan pendidikan para
elit pada kalangan elit itu sendiri, dan humanist lama paling banyak
memperhatikan kaitan. Sehingga dua ideologi saling melengkapi dengan penekanan
mereka pada strata hirarki yang berbeda. Hasilnya adalah bahwa mereka bekerja
lebih produktif daripada ideologi lainnya.
![]() |
Gambar 1: Kesesuaian antara Teori
Hirarkis yang Kaku dari Kurikulum Matematika, Kemampuan, dan Kelas/Jabatan social
2.
Ideologi
hirarkis progresif
Dua dari pandangan ini, pragmatis
teknologis dan pendidik progresif, untuk alasan yang berbeda, bersifat
reproduktif dalam hirarki sosial, namun tidak begitu kaku dan tegas daripada
yang sebelumnya. Keduanya memandang dirinya sebagai meritokratik dengan mengizinkan
atau mendorong pergerakan sosial dalam hirarki sosial pyramidal. Pragmatis
teknologis bertujuan memenuhi kebutuhan industri, karyawan dan masyarakat,
melalui pergerakan sosial yang naik dari keterampilan teknologi. Pendidik
progrsif berfungsi memenuhi kebutuhan individu, dengan mendorong mereka untuk
mengembangkan diri sebagai manusia. Hasil dari potensi pergerakan sosial yang
naik ini, bagi yang mengembangkan kepercayaan diri, dan pengathuan dan keterampilan. Dua ideologi
mengubah tingkat progresif, mencari peningkatan pada masyarakat dan individu.
Sekali lagi, dalam ideologi yang
menjadi penyokong, teori hirarki matematika dan kurikulum matematika dikaitkan
dengan pandangan kemampuan hirarkis dalam matematika dan pandangan
masyarakat hirarkis, kelas dan karyawan.
Seperti di atas ada penyesuaian antara level: Pengetahuan dan keterampilan
matematika yang sederhana dan praktikal dianggap menggantikan kurikulum yang
tepat bagi ‘siswa dengan kemampuan rendah’ yang dianggap telah ditakdirkan
untuk level pekerjaan yang rendah dan juga strata sosial yang rendah.
Pengetahuan dan keterampilan matematika yang lebih kompleks menggantikan
kurikulum untuk siswa dengan kemampuan tinggi, yang dianggap telah ditakdirkan
untuk level pekerjaan yang tinggi dan juga posisi sosial yang juga tinggi.
Dalam mempraktekkan pendekatan
pedagogical yang berbeda ditentukan pada siswa pada level yang berbeda, sebagai
akibat dari teori yang mendasari hirarki. Level siswa yang lebih rendah
cenderung dilatih secara instrumental, dan level yang lebih tinggi cenderung
diajar secara relasional, dan didorong untuk menjadi pelajar yang mandiri.
3.
Ideologi
perubahan sosial
Terakhir, ada ideologi perubahan
sosial dari pendidik publik. Pandangan ini mengakui keberadaan dan
ketidaksamaan dari hirarki kelas sosial pyramidal, namun berusaha mengubahnya
untuk mencapai kebenaran sosial. Pandangan ini berusaha menghancurkan siklus
reproduktif dalam pendidikan, baik yang kaku maupun yang progresif dengan
secara terbuka mengakui keberadaannya dan mempromosikan pendidikan emancipatory.
Teori matematika merupakan teori perubahan konseptual, konstruktivisme sosial.
Hal ini diterjemahkan dalam teori pengetahuan matematika yang fleksibel yang
bisa didaptasi untuk melayani pelajar dan konteks sosialnya; hal ini dikaitkan
dengan teori aliran dari kemampuan matematis, yang berkaitan dengan zona
pengembangan proximal bukan stereotip level ‘kemampuan’; juga dengan teori
perubahan sosial dari masyarakat, kelas dan karyawan.
Teori matematika, kurikulum,
pedagogi, kemampuan dan masyarakat semuanya sama, baik bersifat hirarkis atau
berorientasi pada perubahan. Bentuk pendidikan matematika memainkan peran yang
sangat penting dalam reproduksi (atau menantang) hirarki sosial, namun hanya
salah satu dari beberapa elemen, yang memasukkan filosofi matematika dan teori
pengetahuan matematika. Epistimologi dan isi pendidikan memainkan peran yang
sangat penting dalam menciptakan atau mengubah hirarki sosial.
Akhirnya, kembali pada kurikulum
naional dalam matematika kita bisa mengidentifikasi dalam konsepsi hirarkis
tentang matematika dam kemampuan, dan menyimpulkan pandangan matematika serta
masyarakat, sebagai bahan posisi reporduktif. Tahu bahwa ideologi menjadi
penyokong perkembangan merupakan gabungan dari posisi hirarkis yang kaku dan
progresif, terbukti bahwa tujuan kurikulum, baik implisit maupun eksplisit,
merupakan reproduksi sosial. Karena hal ini melibatkan kesempatan penolakan dan
perwujudan potensi manusia, maka sangat anti pendidikan, menurut Noss.
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Penulis
meyakini bahwa teori matematika merupakan teori perubahan konseptual atau
konstruktivisme. Bentuk pendidikan matematika memainkan peran yang sangat
penting dalam menghasilkan kembali hirarki sosial, atau bisa jadi menantang
hirarki sosial. Pendidikan matematika mampu mengubah hirarki sosial.
Dalam bagian ini, penulis membahas matematis, kemampuan, dan
hirarki sosial dalam tiga kategori. Tiga kategori ini berhubungan dengan kelima
ideologi yang dibahas dibagian sebelumnya, yaitu Ideologi hirarkis yang keras, Ideologi
hirarkis progresif, dan Ideologi
perubahan sosial. Ideologi jenis yang terakhir merupakan ideologi yang
seharusnya dicita-citakan menurut Ernest sesuai dengan teori matematika itu
sendiri.
3.2. Saran
Buku Paul ernest
memiliki beberapa kekurangan yang akan saya jabarkan dalam bentuk saran, sebaik
dalam penulisan pembahasan ini ialah:
1.
Penulis harus menjabarkan
secara detail pada saat menghubungkan ke pendapat para ahli.
2.
Penulis jangan
menyampaikan pembahsan yang bertele-tele dari beberapa paragraf.
3.
Penulis jangan menggunakan bahasa yang terlalu berat, bahkan bagi pembaca yang berlatar
belakang dari pendidikan matematika.
4.
Penulis harus memaparkan Ilustrasi atau contoh akan banyak menolong
pembaca untuk memahami pikiran penulis dengan lebih utuh. Namun pemaparan dan
argumentasi penulis kering dari ilustrasi dan contoh. Hal ini menjadikan isi
buku kurang membumi.
DAFTAR
PUSTAKA
Ernest
Paul, 1991. The Philosophy of Mathematics Education. London: Routledge
Falmer